Apakah training itu penting ?

Jawabannya “SUPER PENTING”

​Tujuan dari training adalah kalibrasi. Memastikan begitu masuk menjadi anggota tim, new employee langsung tuned.
Nyambung dengan anggota tim yang lain.
Nyambung secara budaya kerja, nyambung secara skill.

Menambah tim belum tentu meningkatkan output, kalau tidak ada sinergi.
Talent bagus sekalipun kalau tidak bisa kompak dengan tim dan menyesuaikan dengan budaya kerja di bisnis kita malah menimbulkan konflik baru. Banyak pemilik dan top management perusahaan frustasi karena hal ini.

“Ditambah orang, kok performa malah turun !?” demikian yang banyak didengungkan.
Sinergi adalah ketika 1+1 =  LEBIH DARI 2.
Ini yang kita cari..

Kenyataannya, kalau tidak terkalibrasi dengan baik, 1+1 = kurang dari dua. Malahan jadi tidak efektif.
Lalu harus gimana, harus nambah orang atau tidak? Kalau mau Scale-Up, jawabannya adalah harus.

Dari hasil riset mengenai perekrutan karyawan, diperoleh formula bagaimana training yang powerfull bagi bisnis yang sedang ingin melakukan Scale-Up.

Kita perlu memberikan 2 macam Training sekaligus kepada karyawan baru:

Pertama, Attitude Training
Ini penting banget, karena setiap orang datang dengan pikiran, karakter, belief system yang berbeda-beda. dan ketika dia masuk ke tim kita, dia perlu menyamakan presepsi atau setidaknya kita membuat dia mampu beradaptasi dan mengeluarkan semua potensi yang dia miliki.
Dalam training ini metode-metode yang menarik, fun, tapi tetap powerfull adalah pilihan utama. Materi trainingnya mulai dari company culture, company values, etika dan peraturan perusahaan, dll.  sesuai posisi tim baru tersebut.

Kedua, Knowledge and Skill Training
Training ini berhubungan dengan skill dan pengetahuan day-to-day yang harus dikerjakan, misalnya: dengan siapa saja dia akan banyak berinteraksi, apa saja KPI / target yang diharapkan perusahaan, produk atau solusi apa yang harus dipelajari, alur kerjanya seperti apa,  dan lain sebagainya.
Ini perlu kita sampaikan agar di hari-hari pertama dia bekerja, tidak lagi canggung dan bingung mau ngapain, melainkan dapat langsung bekerja secara efektif.

Bingung untuk merancang training atau harus mulai dari mana? Jangan ragu untuk hubungi NAS Consulting di: 0812-8415-9855 atau email di: operation@ptnas.id. Kita akan berikan konsultasi gratis mengenai hal tersebut.

Tidak Ada Produk Yang Tidak Bisa Dijual ?

“Tidak ada produk yang tidak bisa dijual, hanya cara menjual nya saja yang salah”
Anda percaya sama kalimat itu?
Saya ENGGAK. Pernyataan tadi BULLSHIT dan delusional, menurut saya.
Bukannya saya menakut-nakuti atau membunuh semangat Anda yang sedang berkobar pengen “action-action-action.” Bukan nya saya mau Anda menunda-nunda untuk langsung ngebut bikin bisnis. Semangat boleh, tapi jangan gitu-gitu amat lah.

Saya sedang mengajak Anda semua untuk rasional. Bahaya lho, over-optimistic di awal. Terlalu optimis di awal, bisa membuat Anda cepat putus asa dan akhirnya MENYERAH di bulan-bulan pertama.
Faktanya, 90% orang yang saya kenal dan terlalu optimistis, dimana pikiran positifnya ini delusional tidak berdasarkan data, akan menggebu-gebu di awal buka bisnis, terus ujung-ujungnya setelah action 2 bulan dan target belum tercapai, akhirnya malah frustasi dan bilang “Saya mau ganti produk aja ah.” Waduduh, ngulang dari awal lagi dong kita..
Mungkin sebagian juga pernah mengalami yang saya alami. Kami pernah berbulan-bulan berusaha menjual sebuah produk, dan tidak laku. Kami pun pernah menjual produk yang cepat sekali laku nya, padahal baru di jual sebentar. Bahkan pernah dalam 24 jam pertama langsung laku ratusan unit produk dan tembus penjualan di atas Rp 1 Miliar.

Yang terakhir itu jarang sekali terjadi. Rejeki-rejekian. Mayoritas 99% produk, butuh 6 bulan – 1,5 tahun proses optimasi (action-evaluasi-perbaikan) sampai akhirnya ketemu formulanya, tembus keluar dari zona UMKM. Yang kayak-kayak gini malah biasanya tahan lama. Kokoh kuat pondasinya.
Jadi, suka ataupun tidak suka, potensi pasar setiap produk memang tidak sama. Kalau dapat produk yang paaas banget, Anda beruntung. Kalau dapat yang laku tapi belum laku-laku banget, tidak apa-apa. Kita poles terus. Nanti ketemu.
Alokasikan waktu yang cukup untuk pemilihan produk. Saya sarankan, Anda sedia 8-12 jam untuk riset mendalam tentang penentuan produk sebelum mengambil keputusan. Dan 8-12 jam untuk melakukan validasi (pengkajian ulang supaya makin yakin).

Kalau masih bingung juga, boleh lho menghubungi NAS Research di: 0812-8415-9855 atau email: operation@ptnas.id untuk diskusi mengenai riset dan bagaimana mengevaluasi kebutuhan pasar.

*) artikel dikutip dari Santara Marketplace

Empat masalah yang sering dialami ketika hendak berbisnis

1. Gak punya ide sama sekali

Kalau gak punya ide sama sekali, ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan.
Pertama, mulai dari apa yang bisa kita lakukan. Buat daftar kemampuan yang menonjol dan kira-kira bisa dijual. Setiap orang punya bakat sendiri-sendiri.
Misal: pintar masak, pintar mengajar, pintar membuat sesuatu, punya hoby tertentu, atau sejenisnya.
Nah itu yang dijadikan bisnis.
Bisnis pertama kan? Jadi gak usah terlalu muluk-muluk.
Kuncinya adalah memulai. Kalau pun gagal, biasanya kegagalan itu akan membuka pintu rezeki berikutnya.
Karena sebenarnya, dalam bisnis tidak ada kegagalan. Yang ada hanya berhasil atau belajar.. 🙂

Selain pendekatan tersebut, kita bisa gunakan pendekatan kedua, yaitu: mulai amati sekitar, cari masalah yang dialami banyak orang, lalu ciptakan solusinya. Inilah dasar bisnis.
Bisnis sebenarnya hadir untuk menyelesaikan masalah orang lain dengan profesional.

Ilustrasinya begini,

  • Ada orang lapar, lalu muncul bisnis toko yang menyediakan bahan makanan.
  • Tokonya sudah ada, tapi malas masak, lalu muncul bisnis tempat makan.
  • Sudah banyak orang yang jual makanan, orang mencari makanan yang enak, lalu muncul bisnis seperti itu.
  • Setelah banyak tempat makan yang enak, orang mencari tempat makan yang nyaman, lalu muncul bisnis seperti itu.
  • Setelah banyak tempat makan yang nyaman, orang mencari tempat makan yang unik, lalu muncul bisnis seperti itu. Dan begitu seterusnya.

Masalah orang akan selalu ada, dan ketika Anda menyediakan solusinya, itu akan jadi peluang bisnis.

Kemudian, masih ada pendekatan ketiga, yaitu dengan cara: googling, riset, jalan-jalan cari ide, dan bertanya.
Ada banyak sekali ide bisnis, jadi jangan bingung mau bisnis apa?

Kalau ternyata mentok juga, pakai pendekatan keempat, yaitu: jadi reseller atau affiliate aja dulu, alias jualkan produk orang lain. Ini sah-sah saja koq. Menariknya, dengan jadi reseller atau affiliate, ini bisa jadi peluang belajar sebelum punya produk sendiri.
Kapan lagi? belajar sambil menghasilkan, hehe.

2. Punya ide tapi bingung apa yang harus dilakukan pertama kali

Yang ini jauh lebih mudah dari masalah pertama.
Kalau sudah ada idenya, maka yang perlu dilakukan adalah proaktif.
Bayangkan saja bisnis kamu sudah berjalan. Persiapkan semua kebutuhannya.
Jika saat mencoba kemudian mentok di tengah jalan, maka berpikirlah untuk mencari jalan keluar.
Mulai putar otak. Sebagai pengusaha kita memang dituntut untuk proaktif, jangan sekedar menunggu.

3. Bingung kebanyakan ide

Nah, ini lebih aneh lagi. Kalau kebanyakan ide, kenapa gak di buka bisnisnya?
Kalau kebanyakan ide, pilihlah salah satu yang bisa dibuka paling cepat.
Walaupun yang bisa dibuka paling cepat bukan pilihan yang terbaik, tapi memang begitu alurnya.
Otak pengusaha itu butuh latihan.
Jadi, setelah melakukan analisa dan perhitungan yang wajar, segera buka bisnisnya.
Cepat dibuka… cepat juga merasakan hasilnya… Proaktif.

4. Sudah punya produk, tapi gak tau harus ngapain

Punya produk, tapi gak tau selanjutnya harus ngapain?
Selanjutnya yaaa… belajar jualan.
Berbisnis itu untuk mendatangka uang, dan uang itu datangnya dari aktivitas jualan.

Demikian cara-cara memulai bisnis yang efektif.
Masih bingung… masih galau juga…??
Hubungi NAS Consulting & Research saja deh, nanti kami pandu step-by-step nya.
Salam.

Dependent, Kebergantungan dengan tempat kerja

Selama kita bekerja dengan orang lain, selama kita bekerja membangun kerajaan orang lain status kita adalah “dependent”.

Bergantung dengan sesuatu.

Misalnya kita adalah pegawai bank, bagian pemasaran deposito. Ketika terjadi perubahan arah dalam perusahaan kita bekerja, dari retail banking menjadi digital banking misalnya. Mendadak anda bisa “un-employ” alias menganggur, karena banyak tenaga mansuia di gantikan teknologi.

Disebut “dependent” karena kita bergantung dengan perusahaan kita bekerja. Bergantung kepada keputusan top manajemen mengenai strategi. Apabila strategi tepat perusahaan bertumbuh, strategi gagal perusahaan bangkrut.

Saat ini di Indonesia kaum pekerja ini lebih dari 40 juta orang. Mulai dari “blue collar worker” atau buruh kerja secara fisik, hingga “white collar worker” atau para pekerja professional di kantoran yang lebih mengutamakan ketrampilan, jaringan bisnis, ilmu pengetahuan, dan pikiran berstrategi.

Sekali lagi, hampir semua termasuk kategori “dependent”, kebergantungan. Saya katakan hampir semua karena masih ada lagi yang membedakan diantara mereka, yaitu mereka yang punya “proven track record” akan mudah mendapatkan pekerjaan baru dikala perusahaan lama mengalami tutup, bangkrut, atau mengubah arah perusahaan. Mereka dengan cepat bisa mendapatkan “income“ lagi, walaupun masih ada bergantungnya, nganggur nya nggak akan lama.

Di sisi bawah, yang un-skill dan un-educated ditambah lagi mereka dependent maka kelompok ini sangat sulit untuk survive jangka panjang. Kompetisi mereka banyak. Lapangan kerja terbatas sekali di level ini.

Jadi, sekarang bagaimana kunci sukses-nya? Jika seseorang berada di strata terbawah, maka lakukan hal berpindah strata, jadi skilleducated, dan “independent”. Syarat yang harus di ingat: keberpindahan strata ini dari bawah ke atas, jangan bergantung pada siapapun.
Jangan bergantung pada seseorang, jangan tergantung pada pemerintah, jangan bergantung pada atasan, apalagi bank, dan jangan bergantung pada orangtua.

Dia harus sanggup hanya bergantung pada dirinya sendiri, dan pada Tuhannya Yang Maha Kuasa.